Foto Buya Hamka |
Ulama berkarisma ini telah berpulang menemui Rabb-nya setelah menjalani perawatan selama tujuh hari di Rumah Sakit Pusat Pertamina menyebabkan beberapa penyakit yang dideritanya. Pada saat jenazah Buya Hamka tiba di rumah duka, telah banyak warga yang berkumpul menunggu kedatangan jenazah beliau dan juga untuk memberikan penghormatan terakhir mereka kepada sosok ulama yang telah banyak berjasa bagi masyarakat Indonesia.
Jenazah Buya Hamka kemudian diusung ke Masjid Agung Al Azhar untuk disholatkan. Pada saat itu jamaah shalat Jumat telah berkumpul untuk melakukan shalat Jumat. Masyarakat saling berebut tempat untuk menyhalati jenazah Buya Hamka. Setelah shalat selesai, pemakaman Buya Hamka segera dibawa ke pemakaman Tanah Kusir. Sepanjang perjalanan dari Masjid Al-Azhar ke pemakaman Tanah Kusir, jalan dipadati oleh warga masyarakat yang ingin menyaksikan upacara pemakaman, bahkan di pemakaman Tanah Kusir, telah berkumpul banyak orang menunggu datangnya pemakaman Buya Hamka.
Ulama dan sastrawan Buya Hamka atau Haji Adul Malik Karim Amrullah lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Nagari Sungai Batang Kampung Molek, bertahan di pinggir Danau Maninjau, Sumatera Barat. Ibunya Safiah adalah seorang perempuan kampung biasa. Sang ayah Haji Rasul atau Doktor Syeikh Haji Abdulkarim Amrullah juga bukan orang berada, tetapi ia dikenal sebagai ulama cerdas dan terpandang, dan tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Pada usia 16 tahun, Buya Hamka mulai merantau ke Pulau Jawa untuk menimba ilmu. Awalnya ia tinggal di Yogyakarta bersama pamannya, Amrullah Ja'far, yang kemudian mengenalkannya pada Muhammadiyah dan Sarekat Islam. Ia menimba ilmu dari beberapa guru seperti Bagoes Hadikoesoemo, Tjokroaminoto, Abdul Rozak Fachruddin, dan Suryopranoto. Semasa hidupnya, Buya Hamka dikenal sebagai ulama Muhammadiyah, tokoh Masyumi dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Selain menjadi ulama ia juga merupakan sastrawan yang terpandang. Buya Hamka menghasilkan beberapa karya yang monumental seperti roman Di Bawah Lindungan Kabah (1938) dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939).
Pada masa Pemerintahan Presiden Soekarno, Hamka yang aktif di Partai Masyumi pernah dipenjara. Dalam buku Buya Hamka, Sebuah Novel Biografi, Haidar Musyafa (2018) terbitan Imania, Buya Hamka berisi melakukan tindakan subversif, yakni merencanakan pembunuhan Presiden Soekarno. Tanpa bukti yang kuat, Hamka dipenjara selama dua tahun empat bulan. Selain itu, buku-buku karangan Hamka juga dilarang beredar. Buya Hamka bercerita, saat berada di penjara ia sangat menderita karena memikirkan istri dan anak-anaknya yang harus menaggung penderitaan, memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Selama ditahannya buku-buku karangan Hamka dilarang, ia juga tidak bisa memenuhi undangan untuk berdakwah, sehingga pemasukan uang untuk keluarga pun terhenti.
Setelah era Soekarno berakhir dan digantikan oleh Soeharto, Hamka pun akhirnya bisa menghirup udara bebas. Meski pun telah dipenjarakan oleh Soekarno, namun ia tidak pernah menyimpan sedikit pun rasa dendamnya kepada Bapak Proklamator Indonesia itu. Apalagi ketika Soekarno wafat pada tahun 1970, Buya Hamka menjadi imam shalat jenazah. Sebelum meninggal, Soekarno berwasiat, apabila meninggal ia ingin Hamka yang menjadi imam shalat jenazahnya. “Jika saya wafat kelak, mohon kesediaan Buya Hamka mengimami shalat jenazahku,” pesan Soekarno. Di dekat peti mati Sukarno, Hamka pun meneteskan air mata dan berdoa, ini menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki dendam dan telah memaafkan Sukarno. Dalam doanya ia memohon kepada Allah Ta,